Taman
Friday, 19/02/2010 14:16 WIB |
Seorang ayah mengajak isteri dan anak-anaknya berwisata keluar kota. Sang ayah berharap agar keluarga yang dipimpinnya bisa menemukan ketenangan, rileksasi, dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari.
Tibalah sang ayah dan keluarganya di suatu tempat yang penuh dengan suasana hijau. Pepohonan nan rindang menyejukkan pandangan mata, rerumputan yang senantiasa menghaluskan pijakan dan tapakan kaki yang begitu lelah dengan suasana kota. Suasana pegunungan nan biru menyegarkan kembali harmonisasi hubungan keluarga.
“Ah, sungguh tempat yang tepat untuk mencari ketenangan,” ujar sang ayah sambil memandangi keriangan isteri dan anak-anaknya ketika membaur dengan suasana hijau. Sebuah penginapan pun menanti mereka untuk mendapatkan kesegaran baru dari penatnya perjalanan jauh.
Hari pun berganti, dan tibalah sang ayah dan keluarga yang dipimpimnya kembali menuju kehidupan kota. Mulailah terbayang oleh masing-masing mereka sebuah kepenatan, kebisingan, kekhawatiran, dan berbagai ketidaknyamanan yang seperti biasa mereka hadapi.
Sang ayah memandangi reaksi mereka satu per satu ketika kendaraan yang mereka tumpangi berhenti di rumah mereka yang padat. “Ah, aku hanya mengajak keluargaku lari dari kebisingan. Bukan ketenangan yang hakiki,” batin sang ayah sambil menyemangati isteri dan anak-anaknya dengan hiasan senyuman.
***
Hidup butuh keseimbangan. Ketika kepenatan dan berbagai perasaan tak nyaman menumpuk, orang butuh ketenangan. Itulah arah yang mereka kejar untuk mendapatkan keseimbangan baru dalam hidup.
Sayangnya, ketenangan yang mereka cari hanya sebuah selingan dari berbagai himpitan kesibukan hidup yang sangat melelahkan. Ketenangan dalam taman-taman yang mereka cari, ternyata hanya lapisan tipis gula pemanis dari tumpukan pahitnya hidup yang menggelut.
Bukan itu taman yang sebenarnya mereka cari. Taman ketenangan yang melahirkan keseimbangan hidup sebenarnya tidak semahal yang selama ini orang kejar. Ia dalam diri setiap manusia. Itulah hati. Berzikirlah, niscaya ketenangan akan melekat dalam hati untuk kurun yang lama.
Berzikirlah dan berzikirlah, karena di situlah ketenangan yang hakiki. Berzikirlah, karena di situlah taman penenang hati yang sebenarnya.” (muhammadnuh@eramuslim.com)
Pohon
Thursday, 17/12/2009 11:40 WIB |
Dalam sebuah perjalanan seorang ayah dengan puteranya, sebatang pohon kayu nan tinggi ternyata menjadi hal yang menarik untuk mereka simak. Keduanya pun berhenti di bawah rindangnya pohon tersebut.
“Anakku,” ucap sang ayah tiba-tiba. Anak usia belasan tahun ini pun menatap lekat ayahnya. Dengan sapaan seperti itu, sang anak paham kalau ayahnya akan mengucapkan sesuatu yang serius.
“Adakah pelajaran yang bisa kau sampaikan dari sebuah pohon?” lanjut sang ayah sambil tangan kanannya meraih batang pohon di dekatnya.
“Menurutku, pohon bisa jadi tempat berteduh yang nyaman, penyimpan air yang bersih dari kotoran, dan penyeimbang kesejukan udara,” jawab sang anak sambil matanya menanti sebuah kepastian.
“Bagus,” jawab spontan sang ayah. “Tapi, ada hal lain yang menarik untuk kita simak dari sebuah pohon,” tambah sang ayah sambil tiba-tiba wajahnya mendongak ke ujung dahan yang paling atas.
“Perhatikan ujung pepohonan yang kamu lihat. Semuanya tegak lurus ke arah yang sama. Walaupun ia berada di tanah yang miring, pohon akan memaksa dirinya untuk tetap lurus menatap cahaya,” jelas sang ayah.
“Anakku,” ucap sang ayah sambil tiba-tiba tangan kanannya meraih punggung puteranya. “Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran,” ungkap sang ayah begitu berkesan.
**
Keadaan tanah kehidupan yang kita pijak saat ini, kadang tidak berada pada hamparan luas nan datar. Selalu saja ada keadaan tidak seperti yang kita inginkan. Ada tebing nan curam, ada tanjakan yang melelahkan, ada turunan landai yang melenakan, dan ada lubang-lubang yang muncul di luar dugaan.
Pepohonan, seperti yang diucapkan sang ayah kepada puteranya, selalu memposisikan diri pada kekokohan untuk selalu tegak lurus mengikuti sumber cahaya kebenaran. Walaupun berada di tebing ancaman, tanjakan hambatan, turunan godaan, dan lubang jebakan.
“Jadikan dirimu seperti pohon, walau keadaan apa pun, tetap lurus mengikuti cahaya kebenaran.” (muhammadnuh@eramuslim.com)
Buah
Monday, 26/04/2010 13:34 WIB |
Segerombolan murid-murid sekolah dasar berjalan menapaki tepian parit di persawahan dan ladang nan luas. Mereka mengikuti langkah guru mereka yang sesekali menunjuki mana jenis pohon yang mungkin belum mereka ketahui.
“Anak-anakku, inilah pepohonan yang mungkin sering kamu sebut, tapi baru kali ini kamu jumpai,” ujar sang guru ketika mereka berhenti di tanah kosong di sebuah ladang. “Di sini ada pohon cabai, tomat, terung, mentimun, pepaya, jagung,” tambah sang guru sambil menunjuk ke ladang-ladang yang telah mereka lewati.
Seorang anak mengangkat tangan sambil berdiri di sebuah kumpulan pohon jangkung yang berdaun seperti telapak tangan terbuka. “Pak guru, kalau ini pohon apa?” ucapnya kemudian.
Sambil berjalan pelan, Pak Guru mendekati sang penanya. “Anak-anakku, ini pohon singkong,” jawab sang guru.
“Kenapa ia tidak berbuah, seperti pohon-pohon lain di ladang ini, Pak?” tanya yang lain.
“Kamu salah, anak-anakku. Tidak semua buah bisa ditampilkan ke permukaan. Karena sesuatu hal, ia disembunyikan,” jawab sang guru.
“Disembunyikan?” tanya murid yang lain.
“Ya. Karena pohon singkong bertubuh kurus dan jangkung, ia menyembunyikan buahnya di akar. Perhatikanlah!” jelas sang guru sambil bersusah payah mengangkat pohon singkong hingga akarnya tercerabut.
Tampaklah sebuah pemandangan yang mungkin baru untuk anak-anak. Mereka mendapati sebuah pohon dengan akar yang begitu besar. Itulah yang disebut guru mereka sebagai buah yang disembunyikan.
**
Dinamika hidup dengan berbagai variasinya, hampir selalu berujung pada satu tujuan: mendapatkan hasil atau buah. Berbagai variasi buah pun menjadi target mereka. Ada yang berkerja untuk mendapatkan gaji, keuntungan usaha bagi para pebisnis, kehidupan berumah tangga yang kemudian menghasilkan berbagai aset keluarga, kehidupan berorganisasi yang membuahkan berbagai keuntungan, dan lain-lain.
Sayangnya, kepicikan daya pandang sebagian kita kadang menutup adanya keberadaan buah-buah lain yang tidak selalu tampak di permukaan. Dan boleh jadi, buah yang tidak tampak itu, sebenarnya jauh lebih bernilai dari apa yang bisa dilihat, dipegang, dan kemudian habis dimakan. (muhammadnuh@eramuslim.com)
Pace
Belum lagi dengan bentuk buah yang aneh. Bulatnya tidak rata, dan kulit buah ditumbuhi bintik-bintik hitam. Warnanya juga tidak menarik. Mudanya hijau, tuanya pucat kekuning-kuningan. Berbeda jauh dengan apel, jeruk, mangga, dan tomat. Selain kulitnya mulus, warnanya begitu menarik: hijau segar, merah, dan orange.
Sedemikian tidak menariknya pace, orang-orang membiarkan begitu saja buah-buah pace yang sudah masak. Pace tidak pernah dianggap ketika muda, tua; dan di saat masak pun dibiarkan jatuh dan berhamburan di tanah; membusuk, dan kemudian mengering. Pace sudah dianggap seperti sampah.
Kalau saja pace bisa bicara, mungkin ia akan bilang, "Andai aku seindah apel merah. Andai aku seharum jeruk. Andai aku semolek tomat!" Dan seterusnya.
Perubahan besar pun terjadi di tahun sembilan delapan. Seorang pakar tumbuhan menemukan sesuatu yang lain dari pace. Kandungan buahnya ternyata bisa mengobati banyak penyakit: kanker, jantung, tulang, pernafasan, dan lain-lain. Orang pun memberi nama baru buat pace, morinda citrifolia.
Sejak itu, pace menjadi pusat perhatian. Ia tidak lagi diacuhkan, justru menjadi buruan orang sedunia. Kini, tidak ada lagi pace masak yang dibiarkan jatuh dan berhamburan. Ia langsung diolah dengan mesin canggih higienis, dan masuk golongan obat mahal. Kemuliaan pace sudah jauh di atas apel, jeruk, apalagi tomat.
**
Jalan hidup kadang punya rutenya sendiri. Tidak biasa, lompat-lompat, curam dan terjal. Seperti itulah ketika realitas kehidupan memperlihatkan detil-detilnya yang rumit.
Di antara yang rumit itu, ada kebingungan menemukan tutup peti potensi diri. Semua menjadi seperti misteri. Ada yang mulai mencari-cari, membongkar peti; bahkan ada yang cuma menebak-nebak sambil tetap berpangku tangan. Dalam keputusasaan, orang pun mengatakan, "Ah, saya memang tidak punya potensi." Seribu satu kalimat pengandaian pun mengalir: andai saya...andai saya...andai saya, dan seterusnya.
Kenapa tidak berusaha sabar dengan terus mencari-cari pintu peti potensi. Kenapa tidak mencari alat agar peti bisa terbongkar. Kenapa cuma bisa menebak kalau peti potensi tak berisi. Kenapa cuma diam dan menyesali diri. Padahal boleh jadi, kita bisa seperti pace yang punya potensi tinggi. Sayangnya belum tergali. (mnuh)
Monyet
Seorang pemburu junior tampak kesulitan ingin menangkap monyet berekor panjang dalam keadaan hidup. Walau di hutan yang begitu banyak kelompok monyet berekor panjang, tetap saja si junior kehabisan akal. Pasalnya, monyet-monyet itu begitu gesit dan cekatan.
Seorang pemburu senior pun akhirnya menghampiri pemburu junior untuk memberikan trik khusus. “Sebenarnya, menangkap monyet jenis itu dalam keadaan hidup sangat mudah,” ucapnya memecah kebingungan sang junior.
Sang pemburu senior pun mengambil sebuah toples yang mirip sebuah botol. Bedanya, leher toples itu lebih besar sedikit dan lebih panjang dari leher botol.
“Untuk apa toples aneh ini?” ucap sang pemburu junior masih dalam keadaan bingung.
“Kamu tinggal meletakkan sebutir kacang ke dalam toples, dan memendam toples ini dalam tanah,” ucap sang pemburu senior sambil memberikan toples berisi kacang itu kepada si junior.
Setelah toples dipendam, mereka pun mengintip dari kejauhan. Benar saja, tak lama kemudian seekor monyet tampak mengendap-endap membaui kacang yang ada dalam toples. Setelah tangannya masuk ke toples, sang monyet menjerit-jerit. Sang monyet sudah masuk perangkap pemburu.
Mendapati itu, sang junior benar-benar keheranan dengan cara kerja perangkap monyet itu. ”Lho, kenapa monyet tidak bisa melepaskan tangannya, padahal sebelumnya ia bisa memasukkan tangannya ke dalam toples?” tanya sang junior.
”Itulah sifat monyet, saudaraku. Tangannya tidak bisa ia keluarkan dari toples, karena sang monyet tidak mau kehilangan sebutir kacang yang ada di genggamannya,” jelas sang pemburu senior.
**
Kalau kita mau bercermin dengan tingkah dan perilaku alam di sekitar kita, begitu banyak pelajaran yang bisa diambil.
Boleh jadi, tidak sedikit dari kita yang kehilangan rasionalitas demi ingin tetap menggenggam sesuatu yang sebenarnya kecil. Juga, tidak sedikit dari kita yang sulit menemukan luasnya akal sehat karena terkungkung dalam kerdilnya kebencian dan dendam. (muhammadnuh@eramuslim.com)
Kuda
Kamis, 05/03/2009 10:47 WIB |
“Kamu begitu bahagia, kuda?” tanya sang anjing menampakkan wajah penasaran. Padahal, di masa kering seperti ini, sebagian besar penghuni padang rumput terjebak kehidupan yang begitu sulit.
“Ya, aku bahagia!” ucap kuda sambil terus berlari kecil seraya tetap mengungkapkan keceriaannya.
“Kamu tidak merasa susah di masa kering seperti ini?” tanya anjing dengan wajah masih muram.
“Tidak!” jawab kuda singkat. Gerakan larinya makin melambat. Dan, sang kuda pun menghentikan langkahnya di depan sang anjing.
“Apa kamu sudah kaya, temanku?” tanya si anjing serius. Yang ditanya tidak memberikan reaksi istimewa. Kuda cuma menjawab pelan, “Tidak!”
“Mungkin kamu sudah punya rumah baru seperti kura-kura, keong, atau yang lainnya?” tanya anjing tetap menunjukkan rasa penasaran. Kuda hanya menggeleng.
“Mungkin kamu sudah bisa menghasilkan mutiara seperti para kerang di laut?” tanya sang anjing lagi. Lagi-lagi, kuda menggeleng. “Lalu? Kenapa kamu begitu bahagia?” sergah anjing lebih serius.
“Entahlah,” jawab kuda sambil tetap menunjukkan wajah cerianya. “Aku bahagia bukan karena punya apa-apa. Aku bahagia karena bisa memberi apa yang kupunya: tenaga, kecerdasan, bahkan keceriaan,” jelas kuda begitu panjang.
“Itukah yang membuatmu bahagia dibanding aku?” tanya anjing mulai menemukan jawaban menarik.
“Aku merasa bahagia dan kaya karena selalu berpikir apa yang bisa kuberikan. Dan bukan, apa yang bisa kudapatkan,” tambah si kuda yang mulai beranjak untuk kembali berlari. **
Manis pahit kehidupan kadang bergantung pada bagaimana kita memandang. Dari situlah sikap diri akan menemukan cermin. Kalau hidup dipandang dengan wajah muram, maka cermin akan memantulkan sikap susah, suram, dan tidak mengenakkan.
Cobalah letakkan mata hati kita di tempat yang nyaman untuk memandang hidup ini secara positif. Maka, kita akan menemukan energi baru tentang bagaimana mengarungi hidup.
Dari situlah, sikap yang muncul persis seperti diungkapkan sang kuda, “Aku merasa bahagia karena selalu berpikir apa yang bisa kuberikan. Bukan, apa yang bisa kudapatkan.” (muhammadnuh@eramuslim.com)
**
فَأَمَّا مَن أَعْطَى وَاتَّقَى ﴿٥﴾ وَصَدَّقَ بِالْحُسْنَى ﴿٦﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْيُسْرَى ﴿٧﴾ وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى ﴿٨﴾ وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى ﴿٩﴾ فَسَنُيَسِّرُهُ لِلْعُسْرَى ﴿١٠﴾
Kodok
"Bismillah," suara sang santri mengawali salat. Tapi, "Kung...kung...kung!" Suara nyaring bersahut-sahutan seperti mengoyak kekhusyukan si santri. Ia pun menoleh ke arah jendela. "Ah, suara kodok itu lagi!" ucapnya membatin.
Sudah beberapa kali ia ingin memulai salat malam, selalu saja suara kodok meng-kungkung bersahut-sahutan. Tentu saja, itu sangat mengganggu. Masak, salat malam yang mestinya begitu khusyuk, yang tertangkap selalu wajah kodok. Mata yang bulat, leher dan kepala menyatu dan meruncing di mulut, serta gelembung di bagian leher yang menghasilkan nada begitu tinggi: kung!
"Astaghfirullah! Gimana bisa khusyuk," ucap sang santri sambil membuka jendela kamarnya. Ia menjulurkan kepalanya keluar jendela sambil menatap tajam ke arah genangan air persis di samping jendela. Tapi, beberapa kodok tetap saja berteriak-teriak. Mereka seperti tak peduli dengan sindiran 'halus' si santri.
Hingga akhirnya, "Diaaaam!!!" Si santri berteriak keras. Lebih keras dari teriakan kodok. Benar saja. Teriakan santri membuat kodok tak lagi bersuara. Mereka diam. Mungkin, kodok-kodok tersadar kalau mereka sedang tidak disukai. Bahkan mungkin, terancam. "Nah, begitu lebih baik," ucap si santri sambil menutup jendela.
Ia pun kembali mengkhusyukkan hatinya tertuju hanya pada salat. Kuhadapkan wajahku hanya kepada Allah, Pencipta langit dan bumi. Tapi, "Kung...kung...kung!" Kodok-kodok itu kembali berteriak bersahut-sahutan. Spontan, sang santri kembali menghentikan salatnya.
Kali ini, ia tidak segera beranjak ke arah jendela. Ia cuma menatap jendela yang tertutup rapat. Sang santri seperti menekuri sesuatu. Lama..., ia tidak melakukan apa pun kecuali terpekur dalam diamnya.
"Astaghfirullah," suara sang santri kemudian. "Kenapa kuanggap teriakan kodok-kodok itu sebagai gangguan. Boleh jadi, mereka sedang bernyanyi mengiringi malam yang sejuk ini. Atau bahkan, kodok-kodok itu pun sedang bertasbih seperti tasbihku dalam salat malam.
Astaghfirullah," ucap sang santri sambil menarik nafas dalam. Dan, ia pun memulai salatnya dengan begitu khusyuk. Khusyuuuk...sekali. Begitu pun dengan kodok-kodok: "Kung...kung...kung!"
***
Kadang, karena ego diri, sudut pandang jatuh tidak pas pada posisinya. Biarkan yang lain bersuara beda. Karena boleh jadi, itulah tasbih mereka. (mnuh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar