Gunung
Kamis, 25/09/2008 09:16 WIB |
Seorang anak mengungkapkan rasa penasarannya kepada ayahnya. “Yah, seperti apa sih rupa gunung itu?” Sang ayah tidak menjawab. Ia hanya bilang, “Baiklah, kita berangkat menuju gunung. Akan kamu lihat seperti apa wajah gunung itu.”
Berangkatlah mereka berdua dengan mengendarai mobil. Perjalanan lumayan lama, karena jarak antara tempat tinggal mereka dengan gunung terdekat bisa menghabiskan waktu empat jam dengan mobil. Jarak yang lumayan jauh. Bahkan sangat jauh untuk ukuran seorang anak usia enam tahun.
Ketika perjalanan sudah menempuh hampir separuh jarak, anak itu berteriak, “Hore, gunungnya sudah kelihatan.” Dari balik kaca mobil, sebuah gunung membiru terlihat begitu anggun. Puncaknya menjulang ke langit nan biru dan menembus awan putih. “Oh, indahnya gunung itu,” ucap sang anak. Ia benar-benar kagum.
Mobil pun terus melaju. Jalan yang ditempuh tidak lagi lurus dan datar, tapi sudah berkelok dan naik turun. Wajah gunung pun terlihat hijau karena dedaunan pohon mulai tampak walaupun cuma didominasi warna. Anak itu berujar lagi, “Oh, ternyata gunung itu berwarna hijau. Ada pohon-pohon kecil yang berjajar.”
Sambil menikmati pemandangan sekitar, anak itu pun menyanyikan lagu: “Naik naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali…” Hingga, perjalanan berhenti pada sebuah dataran yang sangat tinggi. Dari situlah mereka bukan hanya bisa melihat wajah gunung yang asli, tapi juga bisa memegang dan menginjak gunung. Mereka sudah berada di puncak gunung.
“Gunungnya mana, Yah?” tanya anak itu keheranan. “Inilah wajah gunung yang kamu cari, tanah yang sedang kita injak,” jawab sang ayah sambil menunjuk ke tanah yang menanjak dan menurun. Anak itu agak heran. “Ini? Tanah yang gersang ini? Tanah yang cuma berisi batu dan pohon-pohon kecil dengan air sungainya yang keruh?”
Sang ayah mengangguk pelan. Ia menangkap warna kekecewaan yang begitu dalam pada diri anaknya. “Anakku, mari kita pulang. Mari kita nikmati wajah gunung dari kejauhan. Mungkin, dari sanalah kita bisa mengatakan bahwa gunung itu indah…”
***
Ketika seseorang sudah menjadi ‘gunung-gunung’ di masyarakatnya. Di mana, wajahnya bisa dilihat orang banyak, suaranya didengar banyak orang; akan muncul penasaran orang-orang yang melihat dan mendengar tokoh baru itu. Mereka ingin tahu, seperti apakah wajah sang tokoh ketika dilihat dari dekat: perilakunya, kehidupan rumah tangganya, dan hal-hal detil lain.
Sayangnya, tidak semua ‘gunung’ yang terlihat indah ketika jauh, benar-benar indah di saat dekat. Para peminat yang ingin dekat dengan ‘gunung’ itu pun pasti kecewa. Ternyata, ‘gunung’ yang dari jauh indah itu, menyimpan banyak cacat. Keindahannya semu.
Mari, kita bangun ‘gunung-gunung’ diri yang benar-benar indah: baik dari jauh, apalagi dekat. Jangan biarkan mereka yang semula kagum, menjadi kecewa. Jangan sampai ada orang-orang yang berujar persis seperti sang ayah bilang, “Anakku, mari kita menjauh. Mungkin hanya dari kejauhanlah, kita bisa mengatakan bahwa ‘gunung’ itu indah…”
Berangkatlah mereka berdua dengan mengendarai mobil. Perjalanan lumayan lama, karena jarak antara tempat tinggal mereka dengan gunung terdekat bisa menghabiskan waktu empat jam dengan mobil. Jarak yang lumayan jauh. Bahkan sangat jauh untuk ukuran seorang anak usia enam tahun.
Ketika perjalanan sudah menempuh hampir separuh jarak, anak itu berteriak, “Hore, gunungnya sudah kelihatan.” Dari balik kaca mobil, sebuah gunung membiru terlihat begitu anggun. Puncaknya menjulang ke langit nan biru dan menembus awan putih. “Oh, indahnya gunung itu,” ucap sang anak. Ia benar-benar kagum.
Mobil pun terus melaju. Jalan yang ditempuh tidak lagi lurus dan datar, tapi sudah berkelok dan naik turun. Wajah gunung pun terlihat hijau karena dedaunan pohon mulai tampak walaupun cuma didominasi warna. Anak itu berujar lagi, “Oh, ternyata gunung itu berwarna hijau. Ada pohon-pohon kecil yang berjajar.”
Sambil menikmati pemandangan sekitar, anak itu pun menyanyikan lagu: “Naik naik ke puncak gunung, tinggi tinggi sekali…” Hingga, perjalanan berhenti pada sebuah dataran yang sangat tinggi. Dari situlah mereka bukan hanya bisa melihat wajah gunung yang asli, tapi juga bisa memegang dan menginjak gunung. Mereka sudah berada di puncak gunung.
“Gunungnya mana, Yah?” tanya anak itu keheranan. “Inilah wajah gunung yang kamu cari, tanah yang sedang kita injak,” jawab sang ayah sambil menunjuk ke tanah yang menanjak dan menurun. Anak itu agak heran. “Ini? Tanah yang gersang ini? Tanah yang cuma berisi batu dan pohon-pohon kecil dengan air sungainya yang keruh?”
Sang ayah mengangguk pelan. Ia menangkap warna kekecewaan yang begitu dalam pada diri anaknya. “Anakku, mari kita pulang. Mari kita nikmati wajah gunung dari kejauhan. Mungkin, dari sanalah kita bisa mengatakan bahwa gunung itu indah…”
***
Ketika seseorang sudah menjadi ‘gunung-gunung’ di masyarakatnya. Di mana, wajahnya bisa dilihat orang banyak, suaranya didengar banyak orang; akan muncul penasaran orang-orang yang melihat dan mendengar tokoh baru itu. Mereka ingin tahu, seperti apakah wajah sang tokoh ketika dilihat dari dekat: perilakunya, kehidupan rumah tangganya, dan hal-hal detil lain.
Sayangnya, tidak semua ‘gunung’ yang terlihat indah ketika jauh, benar-benar indah di saat dekat. Para peminat yang ingin dekat dengan ‘gunung’ itu pun pasti kecewa. Ternyata, ‘gunung’ yang dari jauh indah itu, menyimpan banyak cacat. Keindahannya semu.
Mari, kita bangun ‘gunung-gunung’ diri yang benar-benar indah: baik dari jauh, apalagi dekat. Jangan biarkan mereka yang semula kagum, menjadi kecewa. Jangan sampai ada orang-orang yang berujar persis seperti sang ayah bilang, “Anakku, mari kita menjauh. Mungkin hanya dari kejauhanlah, kita bisa mengatakan bahwa ‘gunung’ itu indah…”
Puncak
"Murid-muridku, aku akan mengujimu dengan puncak bukit di belakangku," ucap sang kakek sambil menoleh ke arah belakang. Tampak sebuah bukit hijau yang begitu tinggi. "Siapa yang bisa meraih puncak bukit itu, kalian lulus!" tambah sang kakek kemudian. "Tapi, ingat! Berhati-hatilah dengan bunga-bunga nan harum di sepanjang jalan setapak, ia bisa melemahkanmu."
"Baik, Guru!" jawab ketiga murid itu sambil bergegas menuju kaki bukit. Mereka pun mulai melakukan pendakian.
Di penghujung hari pertama, seorang murid tampak bergerak melambat. Ia begitu asyik menikmati keindahan bunga-bunga di sekelilingnya. "Hmm, indahnya. Andai aku bisa menghirup keharuman di balik keindahan bunga-bunga itu!" ucap sang murid sambil mendekati sebuah bunga. Dan, ia pun berhenti. Ia tampak berduduk santai sambil memegang beberapa kuntum bunga.
Di penghujung hari kedua, murid kedua yang mulai melambat. Ia memang tidak terpengaruh dengan keindahan bunga. Tapi, ia merasa begitu letih. Dan ia pun terduduk sambil menyaksikan murid ketiga yang terus bergerak ke puncak bukit. "Ah, andai aku bisa sekuat dia!" ucapnya sambil memijat-mijat kakinya yang tampak kaku. Dari arah itu, ia bisa melihat pemandangan luas pada lereng bukit.
"Kau lulus, muridku," ucap sang guru saat ketiganya tiba di kaki bukit. Murid ketiga tampak senyum. Sementara yang lain tetap terdiam. "Bagaimana kamu bisa terus mendaki, saudaraku?" tanya murid kedua kepada yang ketiga.
"Sederhana. Aku tidak pernah menoleh ke bawah. Pandanganku terus ke puncak bukit," jawab murid ketiga begitu mantap.
**
Para pegiat kebaikan paham betul kalau jalan hidup bukan sekadar ujian dan cobaan. Tapi juga perjuangan. Perjuangan agar bisa memberi dengan nilai yang paling tinggi.
Namun, di saat-saat lelah, segala kemungkinan bisa terjadi. Kalau cuma fisik yang lelah, langkah masih bisa diayunkan, walaupun lambat. Tapi jika hati yang letih, bunga-bunga yang lemah pun bisa memperdaya.
Itu pun masih belum cukup. Karena di saat lelah, orang kerap menoleh ke bawah. Ia pun dibuai fatamorgana prestasi, "Ah, ternyata aku sudah begitu tinggi mendaki!" Padahal, puncak yang ia tuju masih sangat jauh.(mnuh)
Gua
Dua orang pemuda tampak berdiskusi di sebuah mulut gua. Sesekali, mereka memandang ke arah dalam gua yang begitu gelap. Gelap sekali! Hingga, tak satu pun benda yang tampak dari luar. Hanya irama suara serangga yang saling bersahutan.
“Guru menyuruh kita masuk ke sana. Menurutmu, gimana? Siap?” ucap seorang pemuda yang membawa tas besar. Tampaknya, ia begitu siap dengan berbagai perbekalan.
“Menurut petunjuk guru, gua ini bukan sekadar gelap. Tapi, panjang dan banyak stalagnit, kelelawar, dan serangga,” sahut pemuda yang hanya membawa tas kecil. Orang ini seperti punya kesiapan lain di luar perbekalan alat. “Baiklah, mari kita masuk!” ajaknya sesaat kemudian.
Tidak menyangka dengan ajakan spontan itu, pemuda bertas besar pun gagap menyiapkan senter. Ia masuk gua beberapa langkah di belakang pemuda bertas kecil. “Aneh!” ucapnya kemudian. Ia heran dengan rekannya yang masuk tanpa penerangan apa pun.
Dari mulai beriringan, perjalanan keduanya mulai berjarak. Pemuda bertas besar berjalan sangat lambat. Ia begitu asyik menyaksikan keindahan isi gua melalui senternya: kumpulan stalagnit yang terlihat berkilau karena tetesan air jernih, panorama gua yang membentuk aneka ragam bentukan unik, dan berbagai warna-warni serangga yang berterbangan karena gangguan cahaya. “Aih, indahnya!” gumamnya tak tertahan.
Keasyikan itu menghilangkannya dari sebuah kesadaran. Bahwa ia harus melewati gua itu dengan selamat dan tepat waktu. Bahkan ia tidak lagi tahu sudah di mana rekan seperjalanannya. Ia terus berpindah dari satu panorama ke panorama lain, dari satu keindahan ke keindahan lain.
Di ujung gua, sang guru menanyakan rahasia pemuda bertas kecil yang bisa jauh lebih dulu tiba. “Guru…,” ucap sang pemuda begitu tenang. “…dalam gelap, aku tidak lagi mau mengandalkan mata zhahir. Mata batinkulah yang kuandalkan. Dari situ, aku bisa merasakan bimbingan hembusan angin ujung gua, kelembaban cabang jalan gua yang tak berujung, batu besar, dan desis ular yang tak mau diganggu,” jelas sang pemuda begitu meyakinkan.
**
Ada banyak “gua” dalam hidup ini. Gua ketika seseorang kehilangan pekerjaan. Gua di saat gadis atau lajang terus-menerus tertinggal peluang berjodoh. Gua di saat orang alim menjadi sulit dipercaya. Gua ketika bencana begitu buta. Dan, berbagai “gua” lain yang kadang dalam gelapnya menyimpan seribu satu keindahan yang membuai.
Sebagian kita, suka atau tidak, harus menempuh rute jalannya yang gelap, lembab, dan penuh jebakan. Sayangnya, tidak semua kita mampu menyiapkan bekal secara pas. Kita kadang terjebak dengan kelengkapan alat. Dan, melupakan bekalan lain yang jauh lebih jitu dan berdaya guna: kejernihan mata hati.
Mata hatilah yang mampu menembus pandangan di saat “gelap”. Mata hatilah yang bisa membedakan antara angin tuntunan dengan yang tipuan. Kejernihannya pula yang bisa memantulkan ‘cahaya’ yang sejati. (mnuh)
Rumah
Tingkah kura-kura itu pun mengundang reaksi hewan lain. Ada yang mencibir, tertawa, dan mengejek. "Hei, kura-kura! Kamu jalan apa tidur!" ucap kelinci yang terlebih dulu berkomentar miring. Spontan, yang lain pun tertawa riuh.
"Hei, kura-kura!" suara tupai ikut berkomentar. "Kalau jalan jangan bawa-bawa rumah. Berat tahu!" Sontak, hampir tak satu pun hewan yang tak terbahak. "Ha..ha..ha..ha! Dasar kura-kura lamban!" komentar hewan-hewan lain kian marak.
Namun, yang diejek tetap saja tenang. Kaki-kakinya terus melangkah mantap. Sesekali, kura-kura menoleh ke kiri dan kanan menyambangi wajah rekan-rekannya sesama penghuni hutan. Ia pun tersenyum. "Apa kabar rekan-rekan?" ucap si kura-kura ramah.
"Teman, tidakkah sebaiknya kau simpan rumahmu selagi kamu jalan. Kamu jadi begitu lambat," ucap kancil lebih sopan. Ucapan kancil itulah yang akhirnya menghentikan langkah kura-kura. Ia seperti ingin mengucapkan sesuatu.
"Tak mungkin aku melepas rumahku," suara kura-kura begitu tenang. "Inilah jatidiriku. Melepas rumah, berarti melepas jatidiri. Inilah aku. Aku akan tetap bangga sebagai kura-kura, di mana pun dan kapan pun!" jelas si kura-kura begitu percaya diri.
**
Menangkap makna hidup sebagai sebuah pertarungan, memberikan sebuah kesimpulan bahwa merasa tanpa musuh pun kita sebenarnya sedang bertarung. Karena musuh dalam hidup bisa berbentuk apa pun: godaan nafsu, bisikan setan, dan berbagai stigma negatif. Inilah pertarungan yang merongrong keaslian jatidiri: sebagai muslim, aktivis, dan dai.
Pertarungan tanpa kekerasan ini bisa berakibat fatal dibanding terbunuh sekali pun. Karena orang-orang yang kalah dalam pertarungan jatidiri bisa lebih dulu mati sebelum benar-benar mati. Ia menjadi mayat-mayat yang berjalan.
Bagian terhebat dari pertarungan jatidiri ini adalah orang tidak merasa kalah ketika sebenarnya ia sudah mati: mati keberanian, mati kepekaan, mati spiritual, mati kebijaksanaan, dan mati identitas.
Karena itu, tidak heran jika kura-kura begitu gigih mempertahankan rumah yang membebaninya sepanjang hidup. Walaupun karena itu, ia tampak lamban. Walaupun ia diserang ejekan. Kura-kura punya satu prinsip yang terus ia perjuangkan: inilah aku! Isyhaduu biannaa muslimiin. (mnuh)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar