Jumat, 06 Agustus 2010

KUMPULAN TAFAKUR (PROFESI)

 Pemimpin

Senin, 21/06/2010 16:07 WIB |

Tiga anak remaja tampak bersemangat berjalan beriringan dengan ayah mereka di sebuah jalan desa yang dikelilingi tumbuhan nan hijau. Sesekali, mereka tampak berhenti sebentar untuk istirahat, kemudian berjalan lagi.
Di sebuah pertigaan jalan, tiba-tiba mereka berhenti. Salah seorang dari mereka berujar, “Yah, kita ke arah mana?”
Yang ditanya tidak langsung menjawab. Sang ayah seperti memberi ruang kepada anak-anaknya untuk berekspresi. “Menurut kamu, kira-kira kemana?” ujar sang ayah kemudian.
Gaya sang ayah yang mereka cintai ini memang bukan hal baru buat mereka. Selalu saja, sang ayah akan melempar balik sebuah pertanyaan yang sangat berkait dengan kematangan analisa dan pengalaman.
“Kayaknya ke kiri deh, Yah!” ucap si bungsu tiba-tiba. Ia juga menjelaskan kalau jalan ke kiri itu jalan menuju puncak bukit yang mereka tuju. Tapi, si bungsu masih belum yakin.
“Kalau menurutku, ke kanan!” ucap si sulung kemudian. “Coba lihat beberapa petani yang memikul hasil panen mereka. Mereka datang dari arah kanan kita kan! Itu artinya, mereka tidak mungkin membawa hasil panen mereka ke bukit, tapi ke arah pasar yang letaknya pasti di bawah,” jelas si sulung begitu argumentatif.
“Menurutmu gimana, Nak?” tanya sang ayah ke anak yang tengah. Ia tampak berpikir sebentar, dan kemudian mengangguk-angguk. “Aku setuju dengan yang arah kanan!” ucapnya kemudian. Mereka pun berjalan menuju arah kanan.
Tiba-tiba, si bungsu berucap dalam sela-sela perjalanan mereka yang tampak begitu mengasyikkan. “Yah, kenapa sih tidak ayah kasih tahu aja. Kan ini bukan yang pertama kali ayah menuju bukit itu?”
Tiba-tiba langkah sang ayah berhenti, yang kemudian diikuti oleh ketiga anaknya. Ia menarik nafas dalam untuk selanjutnya menatap ketiga anaknya dengan senyum. “Anakku,” ucap sang ayah. “Ayah menginginkan kalian kelak menjadi pemimpin yang baik, bukan sekedar pengikut yang baik,” ucap singkat ayah yang kemudian diiringi dengan langkahnya.
**
Dalam dinamika organisasi yang sehat, dalam bentuk apa pun sebuah organisasi, seorang pemimpin yang baik bukan berarti orang yang piawai menelorkan pengikut-pengikut yang setia (taqlid).
Seorang pemimpin yang baik adalah orang yang mampu menyiapkan pemimpin-pemimpin baru yang akan menggantikannya esok. (muhammadnuh@eramuslim.com)

 

Gembala

Senin, 22/03/2010 11:24 WIB |

Seorang anak penggembala begitu asyik menikmati hijaunya padang rumput dari atas punggung seekor kerbau. Sesekali, ia menepuk punggung sang kerbau yang berjalan lambat mengikuti kendalinya. Kemana pun arah yang dituju si anak gembala, kerbau mengikuti dengan berjalan lambat, berhenti sebentar, dan berjalan lagi.
Suatu hari, ayah si anak gembala kerbau membawakannya seekor kuda. Postur sang kuda lumayan bagus: tinggi tegap, sehat, dengan bulu berwarna coklat kemilau.
“Ayah akan mengajarkanmu bagaimana mengendarai kuda, anakku,” ujar sang ayah sambil tersenyum mendapati keceriaan sang anak.
Hanya dengan beberapa kali putaran, si anak gembala merasa yakin mampu mengendalikan laju sang kuda. Dan, mulailah hari-hari kesibukannya yang berbeda dengan hari sebelumnya.
Kini, si anak gembala tidak lagi menunggangi seekor kerbau yang lamban, berhenti, dan lagi-lagi berjalan lamban. Saat ini, ia sedang berada di atas tubuh seekor kuda yang bergerak gesit, cekatan, dan siap berlari kencang kapan pun si anak gembala mau.
Tapi, ada yang aneh yang dirasakan sang kuda terhadap perlakuan si anak gembala. Si anak gembala akan marah seraya memecut sang kuda ketika ia tidak mau berjalan lamban, berhenti, dan berjalan lamban. Padahal, si anak gembala tidak lagi sedang berada di atas kerbau yang tidak mampu berlari cepat, apalagi melompati pagar.
**
Seorang pemimpin, di mana pun level dan jenis kepemimpinannya, adalah juga seorang pengendali. Pemimpinlah yang mengendalikan arah, kecepatan, dan ritme gerak orang-orang atau organisasi yang ia pimpin.
Terkadang, tanpa disadari sang pemimpin, orang-orang yang ia kendalikan punya potensi bergerak dan bermanuver lebih canggih dari apa yang dibayangkan sang pemimpin.
Namun kadang, seperti halnya si anak gembala, justru sang pemimpin tidak nyaman ketika organisasi dan orang-orang yang ia pimpin mampu bermanuver di luar kebiasaan dan selera yang diinginkan. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Gembala (2)

Senin, 02/08/2010 10:56 WIB | 

Seorang penggembala tampak kesulitan untuk menyeberangkan sekawanan kerbau gembalaannya melewati jembatan kecil yang hanya pas dilalui seekor kerbau. Pasalnya, jembatan bukan sekadar kecil, tapi menghubungkan sebuah sungai dangkal yang dihuni banyak buaya.
Sang penggembala paham betul kalau naluri kerbau mungkin mengatakan bahwa jembatan yang dilalui begitu berbahaya. Terutama, keberadaan buaya-buaya yang siap menerkam mereka.
Beberapa kali sang penggembala menakut-nakuti kerbau untuk menggiringnya melewati jembatan satu per satu. Tapi, itu tidak berhasil. Kerba-kerbau lebih takut pada buaya daripada si penggembala.
Sudah bertahun-tahun, sang penggembala hidup bersama kerbau-kerbau gembalaannya, tapi baru kali ini ia benar-benar tidak memahami cara menyeberangkan mereka.
Lama sang penggembala berpikir. Akhirnya, ia mendapat sebuah inspirasi yang memang agak aneh, tapi perlu dicoba.
Sang penggembala mengambil beberapa pucuk dedaunan hijau yang disimpannya di sebuah karung. Ia pun menyodorkan dedaunan itu kepada salah satu kerbau besar yang memang menjadi induk dari kerbau-kerbau lain.
Kerbau besar itu pun mengikuti langkah sang penggembala karena ingin mengunyah daun hijau. Sang induk mengikuti langkah penggembala hingga melewati jembatan.
Di luar dugaan, puluhan ekor kerbau lain tiba-tiba mengikuti langkah kerbau besar melewati jembatan, satu per satu. Tanpa takut kalau di bawah mereka ada buaya yang siap menerkam. Dan tanpa melihat kalau kerbau besar yang mereka ikuti melewati jembatan karena ingin dedaunan hijau.
**
Tidak sedikit tokoh dan pemimpin sebuah wadah organisasi yang kerap kesulitan ketika ingin melakukan sebuah perubahan untuk orang-orang yang bersamanya. Kadang, anjuran, peraturan, bahkan hukuman sekali pun tidak efektif untuk memaksa munculnya perubahan.
Sebesar apa pun cita-cita perubahan, dan seberat apa pun resiko dari sebuah perubahan yang diinginkan; jika terlebih dahulu dicontohkan oleh para pemimpin, insya Allah, langkah perubahan akan diikuti oleh sebagian besar orang.(muhammadnuh@eramuslim.com)

Pencuri

Senin, 07/06/2010 11:53 WIB | 

Seekor burung mahal jenis merpati pos tampak gelisah dalam sebuah sangkar besi nan indah. Tubuhnya yang elok mulai terlihat lemas. Dalam dua hari ini, ia memang tidak mau makan.
Sang merpati yang telah menjuarai beberapa turnamen dunia ini, mulai dari kecepatan terbang hingga ketepatan target tujuan hinggap, yakin benar kalau tuan barunya yang dua hari ini memberinya makan, bukanlah tuan yang sebenarnya. Ia yakin dirinya telah dicuri.
Karena itulah, senikmat dan semahal apa pun makanan yang ditawarkan, ia tetap tidak mau makan. Sang merpati pintar ini yakin, menikmati makanan dari orang yang telah mengecewakan tuannya yang asli, berarti mengkhianati sang tuan yang telah menyayanginya dengan penuh cinta.
Namun, si pencuri tidak pernah marah dengan penolakan itu. Ia ambil lagi makanan yang belum disentuh itu, untuk kemudian diganti dengan makanan yang baru, yang lebih segar, dan lebih nikmat. Sang pencuri pun tidak lupa membersihkan kandang merpati dengan penuh hati-hati.
Begitulah hari-hari yang dilalui oleh sang pencuri kepada merpati curiannya. Sesekali, dengan penuh kelembutan, jari tangan sang pencuri membelai-belai bulu kepala merpati. Sungguh suatu perlakuan yang melebihi apa yang diterima si merpati dari tuannya yang asli.
Ketika lapar yang tidak lagi bisa ditahan, sang merpati akhirnya mencicipi makanan sajian tuan barunya itu. “Aih, lezatnya makanan ini. Baru kali ini aku merasakan makanan senikmat ini,” ucap sang merpati sambil terus memakan sajian yang ada di sangkarnya.
Keesokannya, sang merpati kembali menikmati sajian tuan barunya. Kali ini ia tidak lagi ragu untuk menikmatinya. Perasaan buruknya tentang siapa tuan barunya itu mulai sirna. Tubuhnya pun sudah mulai segar dan bugar. Sayapnya yang pernah rusak, kini kembali normal seperti sebelumnya.
**
Jika seseorang berada dalam keheningan muhasabahnya. Mungkin ia bisa merasakan bahwa begitu banyak ‘pencuri’ yang sangat dekat dalam keseharian kita. Ada ‘pencuri’ yang berkedok karir, ada yang berkedok demi masa depan, ada yang demi isteri dan anak-anak, ada yang berlabel demi maslahat yang lebih besar, dan lain-lain.
Tampilan kelembutan dan kebaikannya yang begitu mempesona, lambat laun mengurangi kejernihan timbangan batin kita. Suatu saat, seseorang tidak lagi bisa membedakan mana yang sebenarnya sebuah kebenaran dan mana yang kebatilan. Mana yang memperbaiki dan mana yang merusak. Dan bahkan, mana Tuan Besar yang telah memberinya kehidupan, dan mana tuan-tuan kecil yang justru mencuri nilai-nilai kehidupannya. (muhammadnuh@eramuslim.com)

Superman

Senin, 27/04/2009 15:41 WIB | 

“Coba ada superman,” gumam seorang bocah saat menyaksikan repotnya sang ayah memperbaiki genting rumahnya yang bocor. Harus dengan tangga, merambat di antara sela pelapon rumah, dan seterusnya.
Dari persepsinya yang sederhana, Andi yang sudah lima tahun di SD ini kerap terperangkap dengan pengandaian tokoh pahlawan yang serba super. Merasa tidak mungkin menaiki tangga, pelapon, dan meraih genting bocor; imajinasinya melayang ke tokoh super yang bisa terbang.
Begitu pun ketika Andi kehilangan uang, yang entah tercecer di mana. Ia membayangkan kehadiran jagoan super yang mampu melihat tembus pandang. Dengan sekali sorotan mata, uang Andi bisa ketemu lagi.
“Uangnya sudah ketemu, Ndi?” tanya sang kakak suatu kali. Ungkapan keprihatinan itu tak berjawab langsung. Andi hanya membalas senyum, seolah masalah tidak sebesar yang diprihatinkan. “Nanti juga ketemu!” jawab Andi enteng.
Padahal, tak ada tanda-tanda Andi berusaha keras untuk mencari. Satu hal yang tak terpikir sang kakak: siapa yang akan mencari uang Andi? Karena kalau itu yang ditanyakan, jawabannya akan begitu ringan: superman!
**
Semua orang punya masalah. Ada skala perorangan, kelompok, bahkan negara dan dunia. Karena hidup ini memang dirancang sebagai bentuk perjalanan panjang melalui ruang-ruang masalah.
Namun, tidak semua yang berhadap-hadapan dengan masalah punya respon positif terhadap kemampuan diri. Kunci solusi seolah mustahil lahir dari kekuatan diri sendiri. Butuh orang lain yang serba super, yang bisa menyediakan berbagai sarana solusi: mulai dari uang, kecerdasan, pengalaman, teknologi, hingga relasi.
Semoga hanya Si Andi yang terperangkap persepsi ini. Ciri utamanya: ia selalu mengandalkan semua penyelesaian masalah dengan satu imajinasi, “Coba ada Superman!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar